Dia juga menilai sikap Jaksa Yulianto aneh, karena sebagai aparatur hukum merasa takut dengan sebuah sms.
 "Sesuatu yang biasa dibuat luar biasa, sesuatu perbuatan yang bukan 
kriminal dibuat jadi kriminal. Malahan ini saya katakan 
over-kriminalisasi,” kata Romli kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/7). 
Dia menyebutkan kasus itu terkesan over-kriminalisasi karena sejatinya isi sms
 tersebut merupakan hal biasa. Bukan kriminal. Di sisi lain ada 
politisasi dalam kasus ini. “Saya menyampaikan bahwa ini politisasi buat
 HT. Dia memiliki posisi politik yang bagus," ujar Romli.
Sebagai ahli hukum pidana, pihaknya menilai sms
 HT tidak mengandung unsur pidana, tapi aspirasi warga negara pada orang
 yang memegang kekuasaan. Sebab, HT adalah rakyat biasa, sementara 
Yulianto penegak hukum. Dalam sejarah demokrasi, rakyat memiliki hak 
untuk bicara.
“Kalau di zaman orde 
baru dulu rakyat tidak boleh bicara. Setelah reformasi ada kebebasan 
bicara, kebebasan menyampaikan pendapat. Nah SMS HT itu salah satu wujud
 dari hak setiap warga negara dalam menyampaikan pendapat,” tegasnya. 
Romli
 juga mengkritik sikap Jaksa Yulianto menyampaikan hasil laporan 
penyelidikan lanjutannya dalam wawancara di sebuah stasiun televisi. 
Padahal, aparat penegak hukum menurutnya tidak boleh melakukan itu. 
"Yulianto
 menyampaikan itu di wawancara tv, dia bawa itu bukti-buktinya, pakai 
baju dinas. Semestinya tidak boleh oleh undang-undang. Itu akan 
menghalangi proses penyelidikan, penuntutan, tapi dia buka sendiri itu 
di muka publik, melanggar dan itu tidak boleh," tambahnya. (Alen) 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar