.

.
» » » Mari Kita Lindungi Anak dari Kekerasan!

RedaksiManado.Com -- Pemerintah menerbitkan aturan baru demi mencegah kekerasan seksual terhadap anak secara komprehensif. Regulasi itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Semua pihak berharap, peraturan tak sekadar tulisan di atas kertas, tapi bisa membuat orang jera menyakiti anak. Hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan satu dari empat anak laki-laki dan satu dari tujuh anak perempuan mengalami kekerasan fisik.

Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu menyatakan angka itu menunjukkan kalau kekerasan terhadap anak di Tanah Air masuk kategori mengkhawatirkan. Hasil survei juga menyebutkan 30 persen dari total 87 juta anak Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik.

"Semakin ironis lagi bahwa kekerasan ini justru terjadi di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sekitar anak," kata Pribudiarta, Sabtu 10 Juni 2017.

Pribudiarta menyebut, pelaku justru orang yang seharusnya melindungi anak. Misal, orang tua, paman, guru, bapak atau ibu tiri, atau pun orang dewasa lainnya.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode Januari-Oktober 2016, seperti disampaikan Sekretaris Jenderal KPAI Rita Pranawati, menyebutkan ada 3.381 kasus kekerasan terhadap anak. Setahun sebelumnya, tercatat 4.309 kasus.

Jumlah tersebut bersumber dari pengaduan langsung di KPAI, pemantauan media cetak dan online, pengaduan online bank data perlindungan anak, serta data dari lembaga mitra KPAI se-Indonesia.

Kasus kekerasan terhadap anak menjadi perhatian di semua negara. Badan federal hingga legislatif di negara bagian Amerika Serikat, misalnya, berkeliling sekolah-sekolah untuk mengampanyekan setop kekerasan pada anak. Sebab, konsekuensi kekerasan terhadap anak tidak hanya jangka pendek, tapi juga jangka panjang.

Memahami Dampak Kekerasan terhadap Anak

Laporan National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, sebuah lembaga yang berkantor di Washington, menyebutkan bahwa anak yang diintimidasi cenderung mengalami berbagai gangguan psikologis, termasuk depresi dan kecemasan. Anak yang diintimidasi juga menderita berbagai gejala fisik, seperti sakit kepala, gangguan tidur, dan sakit perut.

Dampaknya bisa dirasakan selama bertahun-tahun. Dalam banyak kasus, konsekuensi kesehatan mental akibat intimidasi berlanjut sampai dewasa. Anak-anak yang menggertak orang lain dan orang-orang yang menyaksikan intimidasi juga berisiko lebih besar terhadap konsekuensi kesehatan mental.

“Anak-anak pelaku dan sasaran intimidasi punya risiko sangat besar terhadap psikososial yang buruk," kata Jonathan Todres, profesor hukum di Georgia State University yang juga anggota Komite Studi di National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine.

Mengidentifikasi Intimidasi

Hasil penelitian National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine menunjukkan bahwa banyak staf di sekolah dan guru mengalami masalah dalam mengidentifikasi kasus kekerasan terhadap anak. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Salah satu langkah penting untuk bisa mengidentifikasi adanya kekerasan terhadap anak adalah pelatihan bagi guru dan semua orang yang bekerja untuk anak-anak dan remaja. Program pelatihan semacam itu harus terus berlanjut dan dievaluasi untuk memastikan bahwa para profesional dan relawan yang bekerja dengan pemuda dapat secara efektif mengidentifikasi intimidasi dan mengambil tindakan dengan tepat.

Media sosial yang beroperasi 24 jam sehari bisa membuat korban merasa tidak mungkin lolos dari perilaku intimidasi. Oleh karena itu, peran semua kalangan sangat dibutuhkan agar anak tidak menjadi pelaku atau korban kekerasan melalui dunia maya.

Orang tua mesti memantau kegiatan si anak di dunia maya. Laporan National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, juga menyebutkan langkah penting yang harus diambil perusahaan media sosial adalah mengevaluasi platform yang mungkin dimanfaatkan untuk melakukan kekerasan. Perusahaan media sosial harus terlibat memastikan anak-anak dalam lingkungan yang aman dan nyaman.

Mencegah Kekerasan terhadap Anak

Sekjen KPAI Rita Pranawati menjelaskan, upaya mencegah kekerasan pada anak sebenarnya lebih penting dibanding upaya penegakan hukum. Salah satu bentuk pencegahan adalah membangun kesadaran hukum masyarakat secara masif serta membangun kepekaan terhadap pentingnya upaya perlindungan anak di masyarakat dan keluarga.

Orang tua dan keluarga, lanjut Rita, juga harus dapat memerankan sosok sebagai pelindung anak. Orang tua diharapkan dapat membangun keluarga yang berkarakter dan berakhlak, menciptakan kondisi lingkungan yang aman bagi anak, serta edukasi pada anak tentang bahaya kejahatan seksual dan bagaimana cara melindungi diri.

"Intinya, keluarga harus berperan besar dalam pencegahan. Anak diedukasi tentang menjaga diri dan menghindari menjadi pelaku," ujarnya.

Menurut Rita, perkembangan anak juga harus terus-menerus diawasi secara komunikatif. Pihak sekolah juga diminta turut mengadvokasi, mengedukasi, dan membantu penanganan optimal jika terjadi kasus anak yang menjadi korban kekerasan.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa mencegah kekerasan terhadap anak menjadi tanggung jawab bersama, tanggung jawab kita semua. Pembuat kebijakan, perusahaan teknologi, guru, orang tua, dan masyarakat, semua memiliki peran dalam mencegah intimidasi dan memastikan lingkungan yang aman bagi anak-anak. Ayo #LindungiAnak dari kekerasan.

(IMK)

Admin RMC , 12/03/2017

Penulis: Admin RMC

RedaksiManado.Com : Situs Media Online yang menyajikan berita secara umum baik Internasional, Nasional dan Khususnya di Sulawesi Utara
«
Berikutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama

Tidak ada komentar: