.

.
» » » Tak cuma pasang badan, Mendagri juga 'gadaikan' jabatan demi Ahok

JAKARTA, RedaksiManado.Com - Setelah cuti kampanye Pilgub DKI selama tiga bulan, Basuki Tjahaja Purnama kembali ke Balai Kota dan duduk di kursi Gubernur DKI Jakarta. Basuki atau akrab disapa Ahok kembali aktif bekerja sebagai orang nomor satu di ibu kota terhitung 13 Februari 2017.
Keputusan Mendagri mengangkat kembali Ahok menuai polemik. Gelombang penolakan datang dari Gedung DPR. Sejumlah fraksi yang menolak keputusan Mendagri, mewacanakan hak angket yang disebut Ahok Gate. Mendagri dianggap melanggar UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kepala Daerah yang tersandung kasus hukum dan sudah dinyatakan terdakwa, harus diberhentikan. Mereka mendesak Tjahjo Kumolo memecat Ahok.
"Seorang pejabat dari Pemerintah daerah yang berstatus terdakwa dia harusnya dinonaktifkan, begitu perintah UU," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon.
Mendagri langsung pasang badan dan memberi penjelasan bahwa kepala daerah diberhentikan jika melakukan tindak pidana kejahatan dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun. Ahok belum diberhentikan karena jaksa penuntut umum menyertakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a KUHP dan Pasal 156 KUHP. Dengan adanya dakwaan alternatif, otomatis berdampak pada ancaman hukuman terhadap Ahok. Sebab, dua dakwaan itu memiliki perbedaan ancaman hukuman.
"Iya memang seluruh kepala daerah yang bermasalah hukum, dakwaannya jelas, OTT, ditahan ataupun terdakwa, kami berhentikan. Sebagaimana statement yang saya sampaikan ini kan register pengadilan yang kami terima ini dakwaannya alternatif. Itu saja. Masih alternatif," kata Tjahjo.
Mantan Sekjen PDIP ini mengaku masih harus menunggu putusan resmi dari pengadilan terkait kasus penodaan agama yang dilakukan Ahok."Hingga saat ini kita masih menunggu keputusan dari pengadilan dan sebagai warga negara yang taat selalu memegang asas praduga tak bersalah," kata Tjahjo.
Untuk meyakinkan keputusannya itu benar, Tjahjo menyambangi Ombudsman dan Mahkamah Agung. Saat berdiskusi dengan Ketua Ombusman Amzulian Rifai, Tjahjo mengatakan bahwa Ombudsman telah memberikan saran kepadanya terkait dengan belum di nonaktifkannya Ahok.
"Intinya tadi Ombusman memberikan saran yang sangat bagus jangan sampai pelayan publik keputusan pembangunan di daerah khususnya di DKI yang kepala daerahnya masih status terdakwa ini menimbulkan permasalahan," ungkapnya.
Sedangkan kunjungannya ke Mahkamah Agung (MA), Tjahjo ingin meminta MA mengeluarkan fatwa terkait status Ahok. Tjahjo meminta fatwa MA tujuannya memberikan jalan keluar bagi status Ahok tersebut. Sebab, timbul pro dan kontra terkait Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
"Yang intinya kami minta mohon keluarkan fatwa MA terkait apakah kebijakan yang saya ambil, yang kemudian munculnya beberapa pendapat yang berbeda maupun yang sama. Saya menghargai itu semua maka kami mengajukan fatwa ke MA," ujarnya.
Tjahjo bahkan sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Presiden Jokowi. Terkait beda pandangan dalam menafsirkan makna status terdakwa dengan penerapan UU Pemda dianggap wajar. Namun, Kemendagri memiliki kewenangan dalam memberhentikan atau mengaktifkan kembali gubernur.
"Saya meyakini bahwa antara UU Pemda dan dakwaan itu multitafsir. Maka saya yakin betul, saya pertanggungjawabkan kepada Pak Presiden apa yang saya putuskan untuk belum memberhentikan (Ahok)," tegas Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, 
Meski desakan pencopotan terhadap Ahok semakin kencang berhembus, Tjahjo meyakini keputusannya itu sudah benar adanya, mengacu Pasal 83 tentang UU Pemerintah Daerah. Tidak hanya pasang badan, Tjahjo bahkan menggadaikan jabatannya demi Ahok. Tjahjo siap diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri jika salah mengambil keputusan terkait status Ahok.
"Kalau saya salah saya siap bertanggungjawab, saya siap diberhentikan. Siap karena ini yang saya pahami 2 tahun sebagai menteri," kata Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (21/2).
Politisi PDIP ini juga siap mempertanggungjawabkan sikapnya ke Presiden Joko Widodo. Sikapnya ini pun telah disampaikan ke Kepala Negara. Tjahjo mengatakan, sikapnya itu didasari atas dakwaan Ahok yang terdiri dari dua pasal alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Tjahjo kembali menegaskan nasib Ahok sebagai Gubernur DKI harus terlebih mengacu tuntutan jaksa untuk memastikan pasal mana yang akan digunakan. Dia mengatakan, kasus Ahok bukan yang pertama. Peristiwa hampir serupa juga terjadi pada Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang tersangkut kasus dugaan pencemaran nama baik namun tidak dinonaktifkan.
"Sudah banyak saya lakukan kepada kepala daerah. Kalau tertangkap KPK kan jelas, lebih dari 5 tahun pasti terdakwa ditahan ya langsung saya berhentikan. Kalau ini kan baru ada 2 kasus yang di Gorontalo dan Pak Ahok. Yang bukan masalah korupsi dan dua-duanya terdakwa dan dua-duanya tidak ditahan. Ada multitafsir menurut tim hukum Kemendagri," ujarnya. [alen]

Admin RMC , 2/22/2017

Penulis: Admin RMC

RedaksiManado.Com : Situs Media Online yang menyajikan berita secara umum baik Internasional, Nasional dan Khususnya di Sulawesi Utara
«
Berikutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama