.

.
» » » Penjelasan ilmiah Soal Turut Sedihnya Masyarakat Atas Perceraian Ahok

RedaksiManado.Com - Warganet Indonesia dihebohkan dengan surat gugatan cerai dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kepada sang istri Veronica Tan. Hal ini pun dibenarkan oleh Pengacara Ahok, Josefina Agatha Syukur, terkait kliennya mengajukan gugatan cerai.

"Kalau secara kasat mata memang yang kita lihat nampak biasa saja (harmonis)," ujar Josefina mengutip dari merdeka.com, Senin (8/1).

Hal ini pun sontak menggemparkan warganet. Tak ada yang menyangka hal tersebut akan terjadi, dan mereka ikut sedih akan terjadinya hal tersebut.

Namun pertanyaan terbesar sebenarnya bukan mengapa Ahok dan Vero cerai, namun mengapa kita begitu bersedih dengan cerainya orang yang bahkan tak kenal da tak pernah kita temui?

Ternyata dari bidang ilmiah, tepatnya kajian psikologi, ternyata semua kesedihan dan empati kita kepada hubungan cinta para publik figur adalah indikasi dari 'hubungan parasosial'.

Hubungan parasosial adalah teori yang pertama kali dicanangkan oleh Donald Horton dan Richard Wohl di tahun 1956, yang menyebut bahwa komunikasi antara masyarakat biasa dengan publik figur bersifat satu arah. Hal ini dikarenakan perilaku mereka bisa kita konsumsi dan kita amati sebagaimana kita menggunakan media. Sebaliknya, perilaku kita sebagai pengguna media tak bisa diamati oleh publik figur.

Hal inilah yang menyebabkan kita merasa dekat dengan sosok idola kita meski berinteraksi secaraangsung adalah hal yang cukup sulit dilakukan.

Implikasi hubungan parasosial ini terjadi karena 'kebingungan identitas' yang terjadi di masyarakat tentang asumsi mereka terhadap publik figur. Seringkali publik figur hanya menjadi seorang 'karakter'. Dalam konteks Ahok, Ahok memiliki persona sebagai Gubernur yang tegas dan pengayom masyarakat.

Hal inilah yang membuat kita ikut sedih ketika Ahok dan Vero cerai; sebagai audience, masyarakat butuh sosok yang karakternya mereka idolakan bisa tetap pada karakter tersebut. Padahal, mereka sendiri peran aslinya hanyalah manusia biasa.

Kita sebagai pengonsumsi media, melihat Ahok dan Vero sebagai penggabungan antara karakternya sebagai Gubernur yang tegas dan pengayom, dan istrinya yang selalu setia menemani di tengah badai kasus. Di sisi lain, mereka pun adalah manusia biasa yang tentu wajar untuk mengalami konflik dalam hubungan rumah tangga, bahkan hingga cerai. Dua entitas tersebut, karakter dan realita kalau mereka hanya manusia biasa, benar-benar tak bisa dipisahkan dan saling mempengaruhi.

Sama halnya dengan tahun 2016 lalu, di mana Brad Pitt dan Angelina Jolie bercerai, momen ini berlandaskan teori yang sama. Masyarakat seakan-akan melihat Brad dan Angelina sedang memainkan karakter pasangan di film romansa yang dua karakternya 'tak boleh' cerai jika ingin film tersebut berakhir bahagia. Di konteks Ahok dan Vero, mereka seakan-akan juga tak boleh cerai demi tetap dianggap sebagai orang yang sempurna dan politisi yang citranya baik.

Hal ini yang membuat kesedihan menyisa di benak warganet.

Keadaan semacam ini memang dirasakan oleh masyarakat dengan cakupan luas, yang akan makin hebat kesedihannya ketika tingkat konsumsi terhadap medianya juga besar.

Dari riset tahun 2006 yang dipublikasikan di All Academic, 75 persen orang memiliki 'koneksi yang kuat' pada 2 atau 3 publik figur. Koneksi ini muncul dari kesamaan mereka atau terdorongnya mereka atas etos kerja mereka, ide kreatif mereka, serta dorongan keluar dari kebiasaan buruk atau bagaimana mereka menjalani gaya hidup sehat. Tentu Ahok adalah sosok yang sangat diidolakan oleh banyak orang, dan berita ini membuat mereka berempati lebih mendalam. [idc]

Redaksi Manado 2017 , 1/09/2018

Penulis: Redaksi Manado 2017

RedaksiManado.Com : Situs Media Online yang menyajikan berita secara umum baik Internasional, Nasional dan Khususnya di Sulawesi Utara
«
Berikutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama

Tidak ada komentar: